Beranda | Artikel
Membela Wanita-wanita Bani Hasyim
Rabu, 1 Februari 2023

Bab I
HAK-HAK ANAK PEREMPUAN ATAS AYAHNYA

Pasal 13
Membela Wanita-Wanita Bani Hasyim
Bersamaan dengan penyebutan kufu’ (sederajat) dalam nikah, saya bermaksud untuk mengingatkan (pandangan sebagian orang) tentang wanita-wanita Bani Hasyim yang diharamkan untuk menikah dengan pria yang bukan dari kalangan mereka, disebabkan oleh ketidaktahuan orang tuanya yang tersesat yang berjalan di belakang kata-kata tokohnya tanpa dalil yang membatasinya, baik dari al-Qur-an maupun as-Sunnah. Seandainya dia mau mencari dalil, pasti dia akan mendapatkannya bertolak belakang dengan apa yang dikatakan oleh orang yang bodoh ini.

Dari ‘Aisyah Radhiyallahu anha, dia berkata, “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah masuk menemui Dhiba’ah binti az-Zubair, lalu beliau bertanya, ‘Barangkali kamu ingin menunaikan haji?’ Dia menjawab, ‘Demi Allah, aku tidak mendapatkan diriku, kecuali rasa sakit.’ Lalu beliau berkata kepadanya, ‘Tunaikanlah haji, penuhi syaratnya, dan ucapkanlah:

اَللّهُمَّ مَحَلِّي حَيْثُ حَبَسْتَنِي.

Ya Allah, tempatku, di mana Engkau telah menahan diriku.’ Saat itu dia tengah menjadi isteri al-Miqdad bin al-Aswad.” [HR. Al-Bukhari dan Muslim].

Al-Hafizh Ibnu Hajar mengatakan di dalam kitab Fat-hul Baari (IX/135), “Al-Miqdad, yaitu Ibnu ‘Amr al-Kindi dinasabkan kepada al-Aswad bin ‘Abdi Yaghuts az-Zuhri, karena ia mengadopsinya dan ia termasuk para pembesar Quraisy. Dan al-Miqdad menikahi Dhiba’ah, padahal Dhiba’ah adalah wanita Bani Hasyim. Kalaulah kafa-ah itu didasari dengan nasab, niscaya al-Miqdad tidak boleh menikahinya, karena nasabnya di bawah Dhiba’ah.”

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam -dimana beliau adalah seorang Hasyimi- pernah menikahkan kedua puterinya dengan ‘Utsman bin ‘Affan Radhiyallahu anhu yang bersuku Quraisy.

Sementara itu, beliau juga pernah menikahkan Zainab binti Jahsy -yang bersuku Asadiyah- dengan Zaid bin Haritsah Radhiyallahu anhu, yang ia merupakan seorang mantan budak.

Usamah bin Zaid -yang merupakan seorang budak yang dimerdekakan pernah menikahi Fathimah binti Qais yang bersuku Quraisy.

Muhammad bin Isma’il al-‘Amir ash-Shan’ani rahimahullah di dalam kitabnya, Subulus Salaam, hal. 1008 dalam bab al-Kafaa-ah wal Khiyaar mengatakan, “Dalam masalah ini, orang-orang melakukan berbagai hal aneh yang tidak berdasar pada dalil, kecuali kesombongan dan keangkuhan. Laa ilaaha illallah, berapa banyak wanita-wanita mukminah yang diharamkan menikah karena kesombongan para wali dan keangkuhan mereka. Ya Allah, kami berlindung kepada-Mu dari persyaratan yang dilahirkan dari hawa nafsu dan yang dipimpin oleh kesombongan. Wanita-wanita Fathimiyah di Yaman pernah dilarang untuk melakukan pernikahan yang dihalalkan oleh Allah hanya karena pendapat madzhab al-Hadawiyah bahwasanya diharamkan untuk menikahi wanita-wanita Fathimi-yah, kecuali dengan laki-laki Fathimi, tanpa dalil yang mereka sampaikan.

Pada madzhab al-Hadi (Rasulullah) ‘alahi shalatu wassalam tidak ada pendapat seperti itu, bahkan beliau sendiri telah menikahkan puteri-puterinya dengan laki-laki yang berasal dari Thabari. Tetapi, pendapat tersebut muncul sepeninggalnya, yaitu pada masa Imam Ahmad bin Sulaiman yang diikuti oleh keluarga kerajaan, dimana mereka mengatakan -dengan lisanul haal-, ‘Diharamkan laki-laki Fathimi yang terhormat menikah, kecuali yang sama nasabnya dengan mereka.’

Semuanya itu dilakukan tanpa dasar ilmu, petunjuk, dan kitab yang memancarkan sinar yang terang, bahkan yang ditetapkan dari pemimpin manusia (Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam) adalah kebalikan dari itu.”

Syaikh Shalih al-Muqbili al-Yamani rahimahullah mengatakan, “Sekarang saatnya membongkar kebusukan masalah yang mudah ini. Pertama, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menanamkan kecintaan pada nasab dan silsilah beliau, dimana beliau bersabda:

كُلُّ نَسَبٍ وَسَبَبٍ يَنْقَطِعُ إِلاَّ نَسَبِيْ وَسَبَبِيْ.

Setiap nasab dan silsilah akan terputus, kecuali nasab dan silsilahku.

Dan inilah yang mendorong orang-orang untuk berlomba-lomba dalam mencapai silsilah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dan wanita-wanita Fathimiyah semakin terus ketinggalan langkah, meskipun bukan termasuk yang dicari oleh para pria, seperti wanita-wanita tua dan buruk rupanya. Selanjutnya, sekarang di Yaman dari sebagian besar mereka sudah beruban dan kebanyakan mereka tidak bersuami, sehingga rusaklah wanita-wanita tersebut. Kerusakan wanita tersebut dari kalangan mereka menimbulkan kerusakan lain, karena orang yang berkedudukan tinggi menghindari orang-orang yang tidak dihindari oleh orang-orang yang berkedudukan rendah.

Dan telah diketahui bahwa kaum wanita itu lebih banyak daripada kaum laki-laki, apalagi di akhir zaman. Seandainya saja mereka memperhatikan hal tersebut serta mengutamakan wanita-wanita tersebut, tetapi sayangnya mereka malah cenderung kepada apa yang ditetapkan oleh hawa nafsu mereka. Oleh karena itu, Anda dapat melihat sekarang ini wanita-wanita Fathimiyah dengan jumlah mereka yang sangat banyak di Yaman terkungkung oleh kezhaliman ini padahal mereka mengetahui perintah syari’at untuk segera menikah jika sudah ada laki-laki yang diridhai menurut syari’at.

Allah Ta’ala berfirman:

اِلَّا تَفْعَلُوْهُ تَكُنْ فِتْنَةٌ فِى الْاَرْضِ وَفَسَادٌ كَبِيْرٌۗ 

Jika kalian (hai kaum muslimin) tidak melaksanakan apa yang telah diperintahkan Allah itu, niscaya akan terjadi kekacauan di muka bumi dan kerusakan yang besar.’  [Al-Anfaal/8: 73]

Demi Allah, saya telah diberitahu oleh beberapa orang yang menunaikan ibadah haji mengenai seorang shalih lagi adil, dimana ketika ia sampai di Luhyah, ia dilihat oleh seorang wanita yang sangat pemalu. Lalu wanita itu ingin menikah dengan laki-laki tersebut, karena laki-laki itu asing yang tidak diketahui nasabnya. Lalu dia berkata, ‘Engkau seorang laki-laki mulia.’ Wanita itu terus mengulangi kata-katanya itu, tetapi laki-laki itu malah berkata, ‘Tidak.’

Kemudian wanita tersebut pulang sambil berdo’a kepada Allah Subhan ahu wa Ta’ala seraya berucap, ‘Semoga Allah, melakukan hal itu terhadapmu, wahai Mu-ayyid.’ Dan akhirnya Allah pun memang melakukan hal tersebut. Yang dimaksudkan adalah Imam al-Mu-ayyid Muhammad bin al-Qasim, karena dia sangat keras dalam masalah ini. Dan Ibnu Sa’duddin merupakan salah satu murid sekaligus tangan kanannya.

Sungguh indah ungkapan ini, ‘Apa yang melampaui batas, maka akan sejenis dengan lawannya.’

Dan kami khususkan contoh di atas dalam masalah ini, karena wanita tersebut masih sangat muda, barangkali kita belum pernah mendengarnya dari para penganut madzhab. Saya kira kelahirannya pada masa Ahmad bin Sulaiman dan masa al-Manshur. Dan kekuatannya semakin memuncak pada zaman Shalah bin ‘Ali. Dan karenanya terjadi peristiwa yang menyedihkan. Adapun al-Hadi dan juga yang lainnya, mereka tidak menukil dari mereka, kecuali yang bertentangan dengan hal tersebut.”

Berikut ini bait-bait sya’ir yang diungkapkan kepada seorang wanita dari Thuril Bahah. Sya’ir diungkapkan karena orang tuanya melarang dirinya menikah sehingga menjadi perawan tua, saat di mana sudah tidak ada lagi laki-laki yang berminat lagi padanya. Wanita itu bersenandung:

Ketika aku menulis suratku ini dengan jemariku
Air mata pun membasahi kedua mataku
Aku kirimkan surat ini kepada orang tuaku yang telah berlebihan
Yang dulu telah mengasuhku dengan penuh perhatian dan kasih sayang.

Aku kirimkan surat ini padahal sebenarnya aku tidak ingin mengungkapkan
Tetapi bathin dan hati kecilku terus bergolak
Aku kirim surat ini dengan air mata sebagai tintanya
Dan aku tulis berdasarkan pada realitas yang membingungkan

Dan aku telah menyembunyikan kegalauanku dan hatiku masih
terus menyembunyikan
Ketika aku melihat ketenggelamanku telah dilumat habis oleh uban
Sesungguhnya uban itu seperti api

Wahai orang tuaku, janganlah engkau mengharamkan masa mudaku
Karena umurku telah berlalu dengan penuh kesedihan
Ketika aku melihat anak-anak, mataku berlinang
Sementara hatiku senantiasa galau karena larangan menikah.
Ketika aku menyaksikan wanita lain hidup bersama suami
Dan anaknya yang tertidur pulas di dalam buaiannya

Ketika aku melihatnya berkasih sayang dengan anaknya
Maka ada sesuatu yang mengetuk bathinku.
Wahai orang tuaku, janganlah engkau membunuhku dengan kesedihan
Pembunuhan tanpa disertai ancaman dan penggalan
Wahai orang tuaku, Rabb-ku telah menyunnahkan seperti ini
Yaitu adanya suami dan anak-anak

Ini merupakan ketetapan Allah, sebagai hukum yang adil
Yang telah diberlakukan oleh Rabb-ku bagi manusia
Jika engkau menghendaki gaji dan tugasku
Maka ambillah yang engkau mau tanpa imbalan
Atau engkau ingin menjual puterimu kepada orang yang mau membayar
Dengan harta yang banyak, maka hal itu urusan kedua

Demikianlah dan pemilik rumah menjual barang dagangan
Seperti jual beli kambing dan kerbau
Wahai ayahku, cukuplah engkau tidak menghancurkan masa de-panku
Atau cukuplah waktu yang telah hilang
Jika engkau tidak juga memberi perhatian pada suratku ini
Maka ketahuilah bahwa Allah tidak akan pernah melupakanku

Pada hari Kiamat kelak kita akan bertemu untuk menjalani hisab
Di hadapan Ilah Yang Maha Esa
Kemudian Jahannam dan para Malaikat datang di sekitarnya,
Sedang engkau melihat lidah-lidah dari api
Di sana engkau akan mengetahui hak setiap anak perempuan,
Yang dipenjarakan tanpa alasan di belakang terali besi.

[Disalin dari buku Al-Intishaar li Huquuqil Mu’minaat, Edisi Indonesia Dapatkan Hak-Hakmu Wahai Muslimah, Penulis Umu Salamah As-Salafiyyah, Penerbit Pustaka Ibnu Katsir, Penerjemah Abdul Ghoffar EM]


Artikel asli: https://almanhaj.or.id/73201-membela-wanita-wanita-bani-hasyim.html